MAKNA
DAN NILAI SODHA (NYANYIAN SOLIS)
MASYARAKAT LIO-ENDE: KAJIAN LINGUISTIK BUDAYA
Oleh
Antonius Kato
“Manusia
berbahasa ibarat burung yang bersayap” demikian kata Goege H. Lewis. Bahasa
tidak terlepas dari hakikat keberadaan manusia karena itulah yang menjadi
piranti komunikasi antar manusia. Pada ungkapan diatas nampak bahwa manusia
tanpa bahasa sama seperti burung tanpa sayap, karena sayaplah yang mencirikan
burung dan begitupun dengan bahasa karena bahasalah yang mencirikan manusia.
Bahasa
merupakan media simbolik yang mampu menembus batas ruang dan waktu. Artinya,
bahwa di mana pun dan kapan pun orang dapat menggunakan bahasa untuk
berinteraksi dengan sesamanya. Oleh karena itu, Palmer (2003:9-10;
1996:113-169) menegaskan bahwa, tidak ada satu pun media yang dapat melampui
bahasa dalam kelenturan dan kekuatan komunikatif. Bahasa dapat menerjemahkan
nilai dan norma, skema kognitif manusia, persepsi, sikap, kepercayaan manusia
tentang dunia para pendukungnya.
Sebagai
simbol, bahasa dijadikan sebagai alat untuk memahami budaya baik yang sekarang
ada maupun yang telah diawetkan, dan yang akan datang (dengan cara
mewariskannya), tanpa bahasa tak akan ada budaya (Djajasudarma, 2002). Dalam
konteks budaya, Putra Yadnya (2004) mengatakan bahwa bahasa bisa dipandang
sebagai suatu sumber daya untuk menyingkap misteri budaya, mulai dari perilaku
berbahasa, identitas, dan kehidupan penutur, pendayagunaan dan pemberdayaan
bahasa sampai dengan pengembangan dan pelestarian nilai-nilai budaya.
Pandangan
di atas menunjukkan bahwa bahasa sesungguhnya berakar pada realitas sosial dan
budaya, karena semua realitas sosial dan budaya hanya bisa diungkapkan dan
ditransmisikan melalui bahasa. Bahasa dalam hal ini, membungkus “sesuatu” di
balik penggunaanya. Secara substansial, “sesuatu” yang dimaksud adalah makna
dan nilai. Bahasa dalam konteks budaya, adalah bahasa yang
bermakna dan bernilai. Itulah sejatinya bahasa yang bisa mewariskan kebudayaan
dari suatu guyub tutur dan guyub kultur.
Tulisan ini merupakan
suatu tinjauan umum terhadap teori yang digunakan oleh penulis dalam dalam
tesisnya. Secara garis besar, dapat dijelaskan bahwa pendekatan penelitian
linguistik kebudayaan tidak bersifat monolitik. Satu pendekatan saja tidak cukup
untuk mengungkapkan makna secara menyeluruh sehubungan dengan interaksi antara
bahasa dan kebudayaan. Untuk memahami pendekatan penelitian linguistik
kebudayaan, perlu terlebih dahulu dipahami konsep linguistik kebudayaan.
Pemahaman konsep ini akan membuka wawasan mengenai ciri keilmuan dan sifat data
yang merupakan rambu-rambu penelitian.
1.
Bahasa dan Kebudayaan
Sifat bahasa yang penting berkaitan dengan hubungan antara
bahasa dan budaya, yakni: bahasa bersifat manusiawi, bahasa adalah tingkah
laku, dan bahasa berkaitan dengan sikap. Bolinger (1975)
Tentang kebudayaan, kebudayaan itu dipandang sebagai sistem
makna simbolik. Duranti (1997) menyatakan: “culture is public, it does not
exist in someone head”. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa kebudayaan
bersifat kolektif, bukan milik perorangan. Kebudayaan sesungguhnya merupakan keseluruhan
sistem gagasan, tindakan, dan hasil kerja manusia (Koentjaraningrat, 1981:182).
Kebudayaan tidak bisa berkembang
tanpa interaksi. Kebudayaan sepanjang zaman terus bergeser mengikti
perkembangan manusia. Sehubungan dengan itu, ada dua hal yang diperlakukan bagi
suatu kebudayaan, yaitu: create culture dan interpret culture (ibid).
Perlakuan ini terkait dengan bahasa karena bahasa sebagai unsur esensial bagi kebudayaan;
sebgai sarana interaksi yang memungkinkan terciptanya kebudayaan.
2.
Linguitik Kebudayaan
Linguistik kebudayaan merupakan bidang ilmu interdisipliner
yang mempelajari hubungan antara bahasa dan kebudayaan di dalam suatu masyarakat (bdk.Tobin, 1990:4). Jika dikaji
secara lebih mendalam dan seksama, setiap ujaran yang dihasilkan menggambarkan
budaya penuturnya. Sapir-Whorf berhipotesis bahwa bahasa tidak hanya menentukan
budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran penuturnya. Hipotesis Sapir-Whorf
tersebut mengandung pengertian bahwa jika suatu bangsa berbeda bahasa dengan
bangsa lain, maka berbeda pula jalan pikirannya.
Sejalan dengan Sapir-Whorf, Wierzbicka (1992:1) yang secara
tegas mengatakan bahwa berpikir tidak dapat dialihkan dari satu bahasa ke
bahasa lainnya karena berpikir sangat bergantung pada bahasa yang digunakan
untuk memformulasikannya. Dengan demikian berarti bahasa merupakan sarana
berpikir sekaligus menjembatani pikiran dan kebudayaan. Artinya, pola pikir dan
perilaku budaya suatu kelompok etnik tidak terlepas dari bahasa (ragam/langgam,
diksi, tekanan, dan lain-lain) yang digunakan oleh seseorang atau sekelompok
orang.
Putra Yadnya
(2004) menggunakan istilah linguistik kebudayaan sebagai terjemahan dari
cultural linguistics. Konsep ini mengandung pengertian bahwa bahasa
merupakan penjelmaan budaya. Untuk pengertian yang sama, Suharno (1982))
menggunakan istilah linguistik kultural. Linguistik kebudayaan
sesungguhnya adalah bidang ilmu interdisipliner yang mengkaji hubungan
kovariatif antara struktur bahasa dengan kebudayaan suatu masyarakat. Konsep linguistik kebudayaan digunakan pula
oleh Palmer (1996) sebagai cultural linguistics. Palmer (1996)
mengemukakan bahwa linguistik kebudayaan adalah sebuah nama yang cenderung
mengandung pengertian luas dalam kaitan dengan bahasa dan kebudayaan. Lebih
lanjut dikatakannya bahwa linguistik kebudayaan menyangkut ranah bahasa dan
kebudayaan.
3. Pendekatan
dalam Penelitian Linguistik Kebudayaan
Pendekatan dalam penelitian kebudayaan mengacu pada prinsip,
berbeda bahasa berarti berbeda budaya. Wierzbicka (1994:1), berpendapat
linguistik kebudayaan terkait erat dengan pertanyaan: “Mengapa setiap kelompok
etnik mengggunakan bahasa ataupun ragam yang berbeda, dan dengan cara yang berbeda?”
Barker (2004:69) mengatakan: “Memahami kebudayaan berarti mengeksplorasi
bagaimana makna dihasilkan secara simbolis melalui praktek-praktek pemaknaan
bahasa. Ini menjadi domain semiotika.
Mengacu pada linguistik kebudayaan sebagai studi bahasa untuk
mengungkapkan makna budaya, maka pendekatan yang cocok untuk penelitian
linguistik kebudayaan, yakni:
a. Pendekatan
struktural;
b. Pendekakatan
semiotik;
c. Pendekatan
etik vs emik;
d. Pendekatan
etnografi dan wacana
a)
Pendekatan Struktural
Dalam konteks penelitian linguistik kebudayaan, pendekatan
ini diperlukan karena bahasa, kebudayaan, makna merupakan sebuah sistem. Sistem
itu terealisasi melalui bentuk-bentuk tertentu, dan dengan fungsi-fungsi
tertentu. Bentuk, fungsi, dan makna bahasa dapat mengungkapkan makna budaya.
Makna budaya itu menyiratkan nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat bahasa
atau guyup tutur.
Berdasarkan pendekatan struktural, analisis pemakaian bahasa
dalam dimensi budaya mencakup: bentuk, fungsi, makna dan nilai. Analisis bentuk
dan fungsi lebih menyoroti aspek kebahasaan secara mikro dan secara makro.
Bentuk kebahasaan, baik fonologi, morfologi, maupun sintaksis bias menjadi
penciri bagi fungsi-fungsi pemakaian tertentu. Fungsi-fungsi dimaksud berkaitan
dengan makna dan nilai budaya yang dianut oleh suatu guyub budaya. Dengan
perkataan lain, bentuk tertentu bisa saja tipikal terhadap fungsi tertentu.
Fungsi tertentu itu mungkin juga tipikal terhadap makna dan nilai budaya
Pendekatan struktural terhadap linguistik kebudayaan dapat
digambarkan dalam bagan berikut ini.
![]() |
Bagan di atas
dapat dijelaskan sebegai berikut: bahasa berhubungan dengan kebudayaan
penuturnya. Bahasa digunakan dengan pilihan bentuk tertentu yang dibangun
melalui struktur tertentu pula. Bentuk tertentu itu mengemban fungsi dan makna
tertentu. Fungsi dan makna dimaksud, dalam perspektif linguistik kebudayaan,
difokuskan pada fungsi dan makna budaya. Di balik fungsi dan makna budaya
itulah terselubung nilai budaya yang merupakan pandangan dunia dan acuan
perilaku bagi anggota guyup budaya.
b)
Pendekakatan
semiotik
Baik bahasa
maupun kebudayaan, keduanya merupakan sistem tanda (Hoed, 1991:11). Ilmu
tentang tanda pada umumnya disebut semiotik. Tentang semiotik, Milner (1996:47)
berpendapat bahwa semiotik adalah studi tentang tanda dan makna komunikasi
melalui tanda-tanda.
Pendekatan
semiotik dimanfaatkan untuk penelitian linguistik kebudayaan terkait dengan
simbol-simbol budaya yang digunakan oleh suatu masyarakat. Simbol itu tidak
hanya berupa simbol verbal, tetapi juga simbol nonverbal. Misalnya sirih-pinang
yang dimanfaatkan pada sebuah tuturan ritual. Hal ini bisa dianalisis maknanya
secara semiotik.
Sistem
semitok yang ada dan dibangun oleh suatu guyup budaya dapat bersifat universal,
dapat pula bersifat khas. Dalam menghadap keuniversalan dan kekhasan semiotik
pada suatu etnik, peneliti perlu memahami ciri kemanasukaan tanda. Makna
tertentu untuk tanda tertentu dalam suatu guyup budaya mungkin saja tidak
dipahami oleh guyup budaya lain, mungkin juga tidak berterima, bahkan tidak
dibolehkan untuk digunakan atau ditampilkan (tabu).
c)
Pendekatan
etik vs emik
Bahasa dan
budaya adalah milik suatu kelompok masyarakat. Dari sisi bahasa, kelompok
dimaksud disebut guyup tutur/ masyarakat bahasa (speech community),
sedangkan dari sisi budaya disebut guyub budaya/ kelompok etnik (ethnic
group).
Dari sisi
hakikat, bahasa dan budaya bersifat arbitrer/ manasuka. Sifat kemanasukaan itu
dapat menyebabkan persepsi yang berbeda, bahkan bertentangan antara guyup tutur
dan guyup budaya yang satu dengan yang lainnya. Dengan adanya sifat kemansukaan
itu, maka khusus untuk penelitian terhadap pemakaian bahasa dalam dimensi
budaya diperlukan pendekatan gabungan antara etik-emik.
Pendekatan
etik-emik ini menganut prinsip bahwa yang paling mengetahui budaya suatu
kelompok etnik adalah kelompok etnik itu sendiri. Meskipun demikian, pemilik
budaya kadang-kadang tidak tuntas menjelaskan muatan budaya yang dimilikinya
itu. Atas dasar dikotomi pemahaman budaya oleh pendukungnya itu, diperlukan
pendekatan yang dapat menjadi jalan keluar dalam penelitian linguistik
kebudayaan, yakni pendekatan etik-emik.
Etik, menurut Duranti (1997:172) mengacu
pada hal-hak yang berkaitan dengan budaya yang menggambarkan klasifikasi dan
fitur-fiturnya menurut temuan pengamat/ peneliti. Sementara emik mengacu
pada sudut pandang suatu masyarakat dalam memperlajari dan memberi makna
terhadap satu tindakan, atau membedakan dua tindakan. Etik adalah apa yang
dipahami peneliti, sementara emik adalah apa yang ada dalam benak anggota guyup
budaya.
Keduanya
bermanfaat karena: (1) penafsiran peneliti diperlukan dalam analisis bahasa dan
budaya; (2) intuisi pemilik bahasa dan budaya sangat diperlukan dalam upaya
memahami bahasa bahasa dalam perpektif budaya; dan (3) hasil penelitian yang
ideal adalah perpaduan antara yang dikatakan pemilik dan yang diinterpretasikan
oleh peneliti. Sehubungan dengan itu, diperlukan cara-cara etnografis.
d)
Pendekatan
etnografi dan wacana
Kedua
pendekatan ini khusus terkait dengan pemakaian bahasa dalam konteks.
Berdasarkan pendekatan etnografi, pemakaian bahasa dipandang sebagai bagian
dari ekspresi budaya. Dengan pendekatan ini, hal-hal yang diidentifikasi dan
dideskripsikan dari sebuah tindak tutur, yakni: fungsi/ tujuan tuturan, latar
tuturan, bentuk tuturan, urutan tuturan, kaidah tuturan, dan norma interpretasi
tuturan (bdk. Ibrahim, 1994:233—250). Pemahaman komponen-komponen tersebut bisa
membantu penafsiran tentang tata cara kehidupan suatu kelompok etnik (Keesing,
1992:55).
Pemakaian
bahasa juga merupakan bentuk wacana (discourse). Dalam wacana tersirat
hubungan antara ujaran dengan lingkungannya (Halliday dan Hasan, 1976:293).
Firth dalam Coulthard (1977) mengemukakan bahwa dengan studi (wacana)
percakapan, kita dapat menemukan kunci pemahaman yang lebih baik tentang apa
dan bagaimana bahasa itu. Brown dan Yule (1996) mengatakan bahwa pemakaian
bahasa selalu melibatkan pertimbangan-pertimbangan kontekstual. Konteks
dimaksud adalah konteks linguistik dan konteks nonlinguistik (termasuk di
dalamnya konteks sosial dan budaya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar