Sabtu, 28 Juli 2012

TUGAS LINGUISTIK KEBUDAYAAN


            MAKNA DAN NILAI SODHA (NYANYIAN SOLIS) MASYARAKAT LIO-ENDE: KAJIAN LINGUISTIK BUDAYA
Oleh Antonius Kato

 “Manusia berbahasa ibarat burung yang bersayap” demikian kata Goege H. Lewis. Bahasa tidak terlepas dari hakikat keberadaan manusia karena itulah yang menjadi piranti komunikasi antar manusia. Pada ungkapan diatas nampak bahwa manusia tanpa bahasa sama seperti burung tanpa sayap, karena sayaplah yang mencirikan burung dan begitupun dengan bahasa karena bahasalah yang mencirikan manusia.
Bahasa merupakan media simbolik yang mampu menembus batas ruang dan waktu. Artinya, bahwa di mana pun dan kapan pun orang dapat menggunakan bahasa untuk berinteraksi dengan sesamanya. Oleh karena itu, Palmer (2003:9-10; 1996:113-169) menegaskan bahwa, tidak ada satu pun media yang dapat melampui bahasa dalam kelenturan dan kekuatan komunikatif. Bahasa dapat menerjemahkan nilai dan norma, skema kognitif manusia, persepsi, sikap, kepercayaan manusia tentang dunia para pendukungnya.
Sebagai simbol, bahasa dijadikan sebagai alat untuk memahami budaya baik yang sekarang ada maupun yang telah diawetkan, dan yang akan datang (dengan cara mewariskannya), tanpa bahasa tak akan ada budaya (Djajasudarma, 2002). Dalam konteks budaya, Putra Yadnya (2004) mengatakan bahwa bahasa bisa dipandang sebagai suatu sumber daya untuk menyingkap misteri budaya, mulai dari perilaku berbahasa, identitas, dan kehidupan penutur, pendayagunaan dan pemberdayaan bahasa sampai dengan pengembangan dan pelestarian nilai-nilai budaya.
Pandangan di atas menunjukkan bahwa bahasa sesungguhnya berakar pada realitas sosial dan budaya, karena semua realitas sosial dan budaya hanya bisa diungkapkan dan ditransmisikan melalui bahasa. Bahasa dalam hal ini, membungkus “sesuatu” di balik penggunaanya. Secara substansial, “sesuatu” yang dimaksud adalah makna dan nilai. Bahasa dalam konteks budaya, adalah bahasa yang bermakna dan bernilai. Itulah sejatinya bahasa yang bisa mewariskan kebudayaan dari suatu guyub tutur dan guyub kultur.
Tulisan ini merupakan suatu tinjauan  umum terhadap  teori yang digunakan oleh penulis dalam dalam tesisnya. Secara garis besar, dapat dijelaskan bahwa pendekatan penelitian linguistik kebudayaan tidak bersifat monolitik. Satu pendekatan saja tidak cukup untuk mengungkapkan makna secara menyeluruh sehubungan dengan interaksi antara bahasa dan kebudayaan. Untuk memahami pendekatan penelitian linguistik kebudayaan, perlu terlebih dahulu dipahami konsep linguistik kebudayaan. Pemahaman konsep ini akan membuka wawasan mengenai ciri keilmuan dan sifat data yang merupakan rambu-rambu penelitian.

1.   Bahasa dan Kebudayaan
Sifat bahasa yang penting berkaitan dengan hubungan antara bahasa dan budaya, yakni: bahasa bersifat manusiawi, bahasa adalah tingkah laku, dan bahasa berkaitan dengan sikap. Bolinger (1975)  
Tentang kebudayaan, kebudayaan itu dipandang sebagai sistem makna simbolik. Duranti (1997) menyatakan: “culture is public, it does not exist in someone head”. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa kebudayaan bersifat kolektif, bukan milik perorangan.  Kebudayaan sesungguhnya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil kerja manusia (Koentjaraningrat, 1981:182).
Kebudayaan tidak bisa  berkembang tanpa interaksi. Kebudayaan sepanjang zaman terus bergeser mengikti perkembangan manusia. Sehubungan dengan itu, ada dua hal yang diperlakukan bagi suatu kebudayaan, yaitu: create culture dan interpret culture (ibid). Perlakuan ini terkait dengan bahasa karena bahasa sebagai unsur esensial bagi kebudayaan; sebgai sarana interaksi yang memungkinkan terciptanya kebudayaan.

2.   Linguitik Kebudayaan
Linguistik kebudayaan merupakan bidang ilmu interdisipliner yang mempelajari hubungan antara bahasa dan kebudayaan di dalam suatu  masyarakat (bdk.Tobin, 1990:4). Jika dikaji secara lebih mendalam dan seksama, setiap ujaran yang dihasilkan menggambarkan budaya penuturnya. Sapir-Whorf berhipotesis bahwa bahasa tidak hanya menentukan budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran penuturnya. Hipotesis Sapir-Whorf tersebut mengandung pengertian bahwa jika suatu bangsa berbeda bahasa dengan bangsa lain, maka berbeda pula jalan pikirannya.
Sejalan dengan Sapir-Whorf, Wierzbicka (1992:1) yang secara tegas mengatakan bahwa berpikir tidak dapat dialihkan dari satu bahasa ke bahasa lainnya karena berpikir sangat bergantung pada bahasa yang digunakan untuk memformulasikannya. Dengan demikian berarti bahasa merupakan sarana berpikir sekaligus menjembatani pikiran dan kebudayaan. Artinya, pola pikir dan perilaku budaya suatu kelompok etnik tidak terlepas dari bahasa (ragam/langgam, diksi, tekanan, dan lain-lain) yang digunakan oleh seseorang atau sekelompok orang.
Putra Yadnya (2004) menggunakan istilah linguistik kebudayaan sebagai terjemahan dari cultural linguistics. Konsep ini mengandung pengertian bahwa bahasa merupakan penjelmaan budaya. Untuk pengertian yang sama, Suharno (1982)) menggunakan istilah linguistik kultural. Linguistik kebudayaan sesungguhnya adalah bidang ilmu interdisipliner yang mengkaji hubungan kovariatif antara struktur bahasa dengan kebudayaan suatu masyarakat.  Konsep linguistik kebudayaan digunakan pula oleh Palmer (1996) sebagai cultural linguistics. Palmer (1996) mengemukakan bahwa linguistik kebudayaan adalah sebuah nama yang cenderung mengandung pengertian luas dalam kaitan dengan bahasa dan kebudayaan. Lebih lanjut dikatakannya bahwa linguistik kebudayaan menyangkut ranah bahasa dan kebudayaan.

3.   Pendekatan dalam Penelitian Linguistik Kebudayaan
Pendekatan dalam penelitian kebudayaan mengacu pada prinsip, berbeda bahasa berarti berbeda budaya. Wierzbicka (1994:1), berpendapat linguistik kebudayaan terkait erat dengan pertanyaan: “Mengapa setiap kelompok etnik mengggunakan bahasa ataupun ragam yang berbeda, dan dengan cara yang berbeda?” Barker (2004:69) mengatakan: “Memahami kebudayaan berarti mengeksplorasi bagaimana makna dihasilkan secara simbolis melalui praktek-praktek pemaknaan bahasa. Ini menjadi domain semiotika.
Mengacu pada linguistik kebudayaan sebagai studi bahasa untuk mengungkapkan makna budaya, maka pendekatan yang cocok untuk penelitian linguistik kebudayaan, yakni:
a.    Pendekatan struktural;
b.   Pendekakatan semiotik;
c.    Pendekatan etik vs emik;
d.   Pendekatan etnografi dan wacana

a)      Pendekatan Struktural
Dalam konteks penelitian linguistik kebudayaan, pendekatan ini diperlukan karena bahasa, kebudayaan, makna merupakan sebuah sistem. Sistem itu terealisasi melalui bentuk-bentuk tertentu, dan dengan fungsi-fungsi tertentu. Bentuk, fungsi, dan makna bahasa dapat mengungkapkan makna budaya. Makna budaya itu menyiratkan nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat bahasa atau guyup tutur.
Berdasarkan pendekatan struktural, analisis pemakaian bahasa dalam dimensi budaya mencakup: bentuk, fungsi, makna dan nilai. Analisis bentuk dan fungsi lebih menyoroti aspek kebahasaan secara mikro dan secara makro. Bentuk kebahasaan, baik fonologi, morfologi, maupun sintaksis bias menjadi penciri bagi fungsi-fungsi pemakaian tertentu. Fungsi-fungsi dimaksud berkaitan dengan makna dan nilai budaya yang dianut oleh suatu guyub budaya. Dengan perkataan lain, bentuk tertentu bisa saja tipikal terhadap fungsi tertentu. Fungsi tertentu itu mungkin juga tipikal terhadap makna dan nilai budaya
Pendekatan struktural terhadap linguistik kebudayaan dapat digambarkan dalam bagan berikut ini.


Text Box: Fungsi dan Makna
 



Bagan di atas dapat dijelaskan sebegai berikut: bahasa berhubungan dengan kebudayaan penuturnya. Bahasa digunakan dengan pilihan bentuk tertentu yang dibangun melalui struktur tertentu pula. Bentuk tertentu itu mengemban fungsi dan makna tertentu. Fungsi dan makna dimaksud, dalam perspektif linguistik kebudayaan, difokuskan pada fungsi dan makna budaya. Di balik fungsi dan makna budaya itulah terselubung nilai budaya yang merupakan pandangan dunia dan acuan perilaku bagi anggota guyup budaya.

b)     Pendekakatan semiotik
Baik bahasa maupun kebudayaan, keduanya merupakan sistem tanda (Hoed, 1991:11). Ilmu tentang tanda pada umumnya disebut semiotik. Tentang semiotik, Milner (1996:47) berpendapat bahwa semiotik adalah studi tentang tanda dan makna komunikasi melalui tanda-tanda.
Pendekatan semiotik dimanfaatkan untuk penelitian linguistik kebudayaan terkait dengan simbol-simbol budaya yang digunakan oleh suatu masyarakat. Simbol itu tidak hanya berupa simbol verbal, tetapi juga simbol nonverbal. Misalnya sirih-pinang yang dimanfaatkan pada sebuah tuturan ritual. Hal ini bisa dianalisis maknanya secara semiotik.
Sistem semitok yang ada dan dibangun oleh suatu guyup budaya dapat bersifat universal, dapat pula bersifat khas. Dalam menghadap keuniversalan dan kekhasan semiotik pada suatu etnik, peneliti perlu memahami ciri kemanasukaan tanda. Makna tertentu untuk tanda tertentu dalam suatu guyup budaya mungkin saja tidak dipahami oleh guyup budaya lain, mungkin juga tidak berterima, bahkan tidak dibolehkan untuk digunakan atau ditampilkan (tabu).

c)      Pendekatan etik vs emik
Bahasa dan budaya adalah milik suatu kelompok masyarakat. Dari sisi bahasa, kelompok dimaksud disebut guyup tutur/ masyarakat bahasa (speech community), sedangkan dari sisi budaya disebut guyub budaya/ kelompok etnik (ethnic group).
Dari sisi hakikat, bahasa dan budaya bersifat arbitrer/ manasuka. Sifat kemanasukaan itu dapat menyebabkan persepsi yang berbeda, bahkan bertentangan antara guyup tutur dan guyup budaya yang satu dengan yang lainnya. Dengan adanya sifat kemansukaan itu, maka khusus untuk penelitian terhadap pemakaian bahasa dalam dimensi budaya diperlukan pendekatan gabungan antara etik-emik.
Pendekatan etik-emik ini menganut prinsip bahwa yang paling mengetahui budaya suatu kelompok etnik adalah kelompok etnik itu sendiri. Meskipun demikian, pemilik budaya kadang-kadang tidak tuntas menjelaskan muatan budaya yang dimilikinya itu. Atas dasar dikotomi pemahaman budaya oleh pendukungnya itu, diperlukan pendekatan yang dapat menjadi jalan keluar dalam penelitian linguistik kebudayaan, yakni pendekatan etik-emik.
Etik, menurut Duranti (1997:172) mengacu pada hal-hak yang berkaitan dengan budaya yang menggambarkan klasifikasi dan fitur-fiturnya menurut temuan pengamat/ peneliti. Sementara emik mengacu pada sudut pandang suatu masyarakat dalam memperlajari dan memberi makna terhadap satu tindakan, atau membedakan dua tindakan. Etik adalah apa yang dipahami peneliti, sementara emik adalah apa yang ada dalam benak anggota guyup budaya.
Keduanya bermanfaat karena: (1) penafsiran peneliti diperlukan dalam analisis bahasa dan budaya; (2) intuisi pemilik bahasa dan budaya sangat diperlukan dalam upaya memahami bahasa bahasa dalam perpektif budaya; dan (3) hasil penelitian yang ideal adalah perpaduan antara yang dikatakan pemilik dan yang diinterpretasikan oleh peneliti. Sehubungan dengan itu, diperlukan cara-cara etnografis.


d)     Pendekatan etnografi dan wacana
Kedua pendekatan ini khusus terkait dengan pemakaian bahasa dalam konteks. Berdasarkan pendekatan etnografi, pemakaian bahasa dipandang sebagai bagian dari ekspresi budaya. Dengan pendekatan ini, hal-hal yang diidentifikasi dan dideskripsikan dari sebuah tindak tutur, yakni: fungsi/ tujuan tuturan, latar tuturan, bentuk tuturan, urutan tuturan, kaidah tuturan, dan norma interpretasi tuturan (bdk. Ibrahim, 1994:233—250). Pemahaman komponen-komponen tersebut bisa membantu penafsiran tentang tata cara kehidupan suatu kelompok etnik (Keesing, 1992:55).
Pemakaian bahasa juga merupakan bentuk wacana (discourse). Dalam wacana tersirat hubungan antara ujaran dengan lingkungannya (Halliday dan Hasan, 1976:293). Firth dalam Coulthard (1977) mengemukakan bahwa dengan studi (wacana) percakapan, kita dapat menemukan kunci pemahaman yang lebih baik tentang apa dan bagaimana bahasa itu. Brown dan Yule (1996) mengatakan bahwa pemakaian bahasa selalu melibatkan pertimbangan-pertimbangan kontekstual. Konteks dimaksud adalah konteks linguistik dan konteks nonlinguistik (termasuk di dalamnya konteks sosial dan budaya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar