Sabtu, 28 Juli 2012

PEMEROLEHAN KATA SECARA SINTAKSIS DAN SEMANTIS



Oleh:
I Putu Eka Suardana     (1190161004)
I Made Sukadana Antara   (1190161015)
Oce A. Langkameng       (1190161062)


 BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang dan Masalah
            Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang anak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167). Meskipun dalam terminologi pemerolehan bahasa juga terdapat istilah pemerolehan bahasa kedua, namun dalam tulisan ini konsep pemerolehan bahasa mengacu pada konsep pemerolehan bahasa bahasa pertama atau  bahasa ibu.
            Secara empiris, terdadapat tiga pandangan  atau teori mengenai pemerolehan bahasa, yaitu teori behavioristik, mentalistik, dan kognitif.  Teori behavioristik memiliki dasar pandangan bahwa anak yang dilahirkan ke dunia diibaratkan seperti kertas kosong yang tidak membawa kapasitas atau potensi bahasa, lingkunganlah yang akan memberi warna dan membentuknya. Pengetahuan dan keterampilan berbahasa diperoleh melalui pengalaman dan proses belajar. Teori behavioristik menjelaskan perubahan tingkah laku dengan menggunakan model stimulus (S) dan respon (R). Setiap ujaran dan bagian ujaran yang dihasilkan merupakan reaksi atau respon terhadap stimulus.
            Berbeda dengan kaum behavioristik, kaum mentalistik tidak menganggap penting pengaruh lingkungan dalam pemerolehan bahasa (Sudipa, 2007:8). Chomsky sebagai penganut aliran ini berpandangan bahwa anak yang lahir ke dunia telah memiliki kapasitas atau potensi bahasa. Kapasitas atau potensi bahasa tersebutlah yang akan turut menentukan struktur bahasa yang akan mereka gunakan. Penganut aliran ini memiliki dasar pandangan bahwa setiap anak yang lahir ke dunia telah dilengkapi dengan piranti pemerolehan bahasa yang disebut dengan Language Acquisition Device (LAD). Menurut Brown, LAD terdiri atas:
  1. Kecakapan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lainnya.
  2. Kecakapan untuk mengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas yang akan berkembang kemudian.
  3. Pengetahuan tentang sistem bahasa yang mmungkin dan tidak mungkin.
  4. Kecakapan untuk menggunakan system bahasa yang didasarkan pada penilaian perkembangan sistem linguistik.
            Pada tahun 60-an kaum mentalistik yang lain mengusulkan suatu pendekatan baru yang dinamakan pendekatan kognitif. Pendekatan kognitif yang selanjutnya melahirkan teori kognitif ini memandang bahasa lebih mendalam lagi (Pateda, 1990:49). Pendekatan ini memadukan dua teori sebelumnya yaitu, bayi dipandang lahir dengan membawa kapasitas atau potensi bahasa, dan juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Teori kognitif menekankan pada hasil kerja mental. Titik awal teori ini adalah anggapan terhadap kapasitas kognitif anak dalam menemukan struktur di dalam bahasa yang ia dengar di sekelilingnya. Baik produksi maupun komprehensi bahasa pada anak dipandang sebagai hasil proses kognitif yang secara terus menerus berkembang dan berubah. Jadi, stimulus merupakan masukan bagi anak yang kemudian berproses dalam otak. Dalam otak terjadi mekanisme internal yang diatur oleh pengatur kognitif yang kemudian keluar sebagai hasil pengolahan kognitif (Pateda, 1990:50).
            Proses pemerolehan bahasa pada anak tentu tidak terjadi dalam waktu yang singkat, melainkan melewati proses panjang, yaitu seiring dengan bertambahnya usia anak tersebut. Selama berlangsungnya proses pemerolehan bahasa, Chomsky memberikan dua proses yang terjadi yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Proses kompetensi adalah proses yang berhubungan dengan penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses perfomansi yang selanjutnya terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar. Sedangkan penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat sendiri (Chaer 2003:167).
             Kompetensi mencakup tiga buah komponen tata bahasa, yaitu komponen sintaksis, komponen semantik, dan komponen fonologi. Oleh karena itu, pemerolehan bahasa juga dibagi menjadi pemerolehan semantik, pemerolehan sintaksis, dan pemerolehan fonologi (Chaer 2003:168). Namun pada paper ini kita akan berfokus pada pemerolehan kata secara sintaksis dan semantik saja. Bagaimanakah proses pemerolehan kata secara sintaksis dan semantis merupakan masalah yang akan dideskripsikan pada bab dua paper ini.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Proses Pemerolehan Kata secara Sintaksis
Pemerolehan bahasa pada anak bersifat alamiah atau didasarkan pada nature atau dengan kata lain manusia telah diciptakan menjadi makhluk berbahasa, karena mereka telah dilengkapi dengan segala sesuatu (otak, alat ucap, dst) (Soemarsono, 2004: 72). Susunan sintaksis paling awal terlihat pada usia kira-kira 18 bulan walaupun pada beberapa anak terlihat pada usia 1 tahun bahkan lebih dari 2 tahun.
Peralihan dari satu kata menjadi kalimat yang merupakan rangkaian kata terjadi secara bertahap. Pada waktu kalimat pertama terbentuk yaitu penggabungan dua kata menjadi kalimat, rangkaian kata tersebut berada pada jalinan intonasi. Jika kalimat dua kata tersebut memberi makna lebih dari satu maka anak membedakannya dengan menggunakan pola intonasi yang berbeda.
Perkembangan pemerolehan sintaksis meningkat pesat pada waktu anak menjalani usia 2 tahun, yang mencapai puncaknya pada akhir usia 3 tahun. Tahap perkembangan sintaksis secara singkat terbagi dalam:
1.      Masa pra-lingual sampai usia 1 tahun
2.      Kalimat satu kata, 1-1,5 tahun
3.      Kalimat rangkaian kata, 1,5-2 tahun
4.      Konstruksi sederhana dan kompleks, 3 tahun.
Pada masa pra-lingual sampai usia 1 tahun seorang anak belum mampu memproduksi suatu ujaran karena alat ucapnya belum berkembang dengan baik. Walaupun alat ucapnya belum berkembang dengan baik, namun seorang anak telah mampu memproduksi bunyi-bunyi tangisan dan rengekan yang dikendalikan oleh rangsangan (stimulus), tahap ini juga sering disebut tahap pengocehan (bubbling), Dardjowidjojo (2005:243-244). Ocehan atau celotehan merupakan ujaran yang memiliki suku kata tunggal seperti mu dan da. Adapun umur si bayi mengoceh tak dapat ditentukan dengan pasti. Mar’at (2005:43) menyebutkan bahwa tahap ocehan ini terjadi pada usia antara 5 dan 6 bulan. Dardjowidjojo (2005: 244) menyebutkan bahwa tahap celoteh terjadi sekitar umur 6 bulan. Tidak hanya itu. ada juga sebagian ahli menyebutkan bahwa celoteh terjadi pada umur 8 sampai dengan 10 bulan. Perbedaan pendapat seperti ini dapat saja terjadi, tetapi hal yang perlu diingat bahwa kemampuan anak berceloteh tergantung pada perkembangan neurologi seorang anak.
Pada saat anak memasuki usia 1-1,5 tahun maka anak dapat dikatakan telah memasuki suatu tahap yang disebut tahap holofrasis atau tahap satu kata. Pada tahap ini Ujaran-ujaran yang mengandung kata-kata tunggal diucapkan anak untuk mengacu pada benda-benda yang dijumpai sehari-hari. Pada tahap ini pula seorang anak mulai menggunakan serangkaian bunyi berulang-ulang untuk makna yang sama. Pada usia ini pula, sang anak sudah mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan makna dan mulai mengucapkan kata-kata yang pertama. Itulah sebabnya tahap ini disebut tahap satu kata satu frase atau kalimat, yang berarti bahwa satu kata yang diucapkan anak itu merupakan satu konsep yang lengkap, misalnya “mam” (Saya minta makan); “pa” (Saya mau papa ada di sini), “Ma” (Saya mau mama ada di sini). Mula-mula, kata-kata itu diucapkan anak itu kalau rangsangan ada di situ, tetapi sesudah lebih dari satu tahun, “pa” berarti juga “Di mana papa?” dan “Ma” dapat juga berarti “Gambar seorang wanita di majalah itu adalah mama”.
Tahap pemerolehan kata secara sintaksis yang ketiga adalah tahap kalimat rangkaian kata pada usia anak 1,5-2 tahun. Ujaran-ujaran yang terdiri atas dua kata mulai muncul seperti mama mam dan papa ikut. Kalau pada tahap holofrastis ujaran yang diucapkan si anak belum tentu dapat ditentukan maknanya, pada tahap dua kata ini, ujaran si anak harus ditafsirkan sesuai dengan konteksnya. Pada tahap ini pula anak sudah mulai berpikir secara “subjek + predikat” meskipun hubungan-hubungan seperti infleksi, kata ganti orang dan jamak belum dapat digunakan. Dalam pikiran anak itu, subjek + predikat dapat terdiri atas kata benda + kata benda, seperti “Ani mainan” yang berarti “Ani sedang bermain dengan mainan” atau kata sifat + kata benda, seperti “kotor patu” yang artinya “Sepatu ini kotor” dan sebagainya.
Memasuki usia 3 tahun seorang anak telah memasuki suatu tahap yang disebut sebagai tahap menghasilkan suatu konstruksi yang sederhana dan kompleks. Anak mulai menghasilkan ujaran kata-ganda (multiple-word utterances) atau disebut juga ujaran telegrafis. Anak juga sudah mampu membentuk kalimat dan mengurutkan bentuk-bentuk itu dengan benar. Kosakata anak berkembang dengan pesat mencapai beratus-ratus kata dan cara pengucapan kata-kata semakin mirip dengan bahasa orang dewasa. Contoh dalam tahap ini diberikan oleh Fromkin dan Rodman.
“Cat stand up table” (Kucing berdiri di atas meja);
What that?” (Apa itu?);
He play little tune” (dia memainkan lagu pendek);
Andrew want that” (Saya, yang bernama Andrew, menginginkan itu);
No sit here” (Jangan duduk di sini!)
            Pada usia dini dan seterusnya, seorang anak belajar B1-nya secara bertahap dengan caranya sendiri. Ada teori yang mengatakan bahwa seorang anak dari usia dini belajar bahasa dengan cara menirukan. Namun, Fromkin dan Rodman (1993:403) menyebutkan hasil peniruan yang dilakukan oleh si anak tidak akan sama seperti yang diinginkan oleh orang dewasa. Jika orang dewasa meminta sang anak untuk menyebutkan “He’s going out”, si anak akan melafalkan dengan “He go out”. Ada lagi teori yang mengatakan bahwa seorang anak belajar dengan cara penguatan (reinforcement), artinya kalau seorang anak belajar ujaran-ujaran yang benar, ia mendapat penguatan dalam bentuk pujian, misalnya bagus, pandai, dsb. Akan tetapi, jika ujaran-ujarannya salah, ia mendapat “penguatan negatif”, misalnya lagi, salah, tidak baik. Pandangan ini berasumsi bahwa anak itu harus terus menerus diperbaiki bahasanya kalau salah dan dipuji jika ujarannya itu benar.

2.2       Proses Pemerolehan kata secara Semantis
            Setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda dalam memahami suatu tuturan tergantung perkembangan psikologis anak. Setiap anak mempunyai cara tersendiri dalam memahami makna kata. Pada awalnya dalam kehidupan seorang bayi menghabiskan waktunya untuk mengamati dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi yang ada di sekitar kehidupannya. Pengamatan ini dilakukan melalui seluruh panca inderanya. Apa yang diamati dan dikumpulkan itu menjadi “pengetahuan dunianya”. Berdasarkan pengetahuan dunianya inilah si bayi memperoleh semantik bahasa dunianya dengan cara meletakkan “makna” yang tetap kepada urutan bunyi bahasa tertentu (Chaer, 2003: 194).
             Bidang semantik meliputi kemampuan anak dalam memahami ujaran lawan bicaranya, seperti kemampuan memahami makna kata yang diucapkan oleh lawan bicaranya. Dari mulai usia dua tahun seorang anak sudah mampu memahami beberapa kosa kata yang di ucapkan lawan bicaranya. Salah satu golongan kosakata yang dikuasai oleh anak adalah golongan kelas kata nomina terutama yang akrab dengan tempat tinggalnya.
            Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuk-bentuknya benar, ini belum berarti ia telah menguasai bahasa pertamanya itu, karena dapat saja ia memberi arti yang lain pada kalimat-kalimat yang diucapkanya itu. Namun sebaliknya ada juga kecendurungan, walaupun seorang anak sudah memahami tentang arti suatu kata tetapi ia mengucapkan kosa kata tersebut menjadi berbeda atau tidak sesuai dengan kosakata yang sebenarnya.
            Berkaitan dengan pemerolehan kata secara semantis, terdapat beberapa teori mengenai proses pemerolehan semantik, yakni: (a) teori hipotesis fitur semantik, (b) teori hipotesis hubungan-hubungan gramatikal, (c) teori hipotesis generalisasi dan (d) teori hipotesis primitif universal.
1)   Teori Hipotesis Fitur Semantik
Menurut beberapa ahli psikologi perkembangan, anak-anak memperoleh makna suatu kata dengan cara menguasai fitur-fitur semantik kata itu satu persatu sampai semua fitur semantik itu dikuasai, seperti yang dikuasai oleh orang dewasa (Mc. Neil, 1970, Clark, 1977 dalam Chaer, 2009 : 195). Clark memberi contoh, pada mulanya anak-anak yang berbahasa Inggris menyebut semua binatang berkaki empat doggie atau kitty karena pada mulanya anak-anak itu hanya menguasai beberapa fitur semantik saja, yakni [+human], [+animal], dan [+four legs]. Lama-kelamaan fitur-fitur semantik lain juga dikuasai sehingga pada umur tertentu anak-anak dapat membedakan doggi dan kitty. Asumsi-asumsi yang menjadi dasar hipotesis fitur-fitur semantik adalah:
a)      Fitur-fitur makna yang digunakan anak-anak dianggap sama dengan beberapa fitur makna yang digunakan oleh orang dewasa.
b)      Karena pengalaman anak-anak mengenai dunia ini dan mengenai bahasa masih sangat terbatas bila dibandingkan dengan pengalaman orang dewasa, maka kanak-kanak hanya akan menggunakan dua atau tiga fitur makna saja untuk sebuah kata sebagai masukan leksikon.
c)      Karena pemilihan fitur-fitur yang berkaitan ini didasarkan pada pengalaman anak-anak sebelumnya, maka fitur-fitur ini pada umumnya didasarkan pada informasi persepsi atau pengamatan.

Jadi, ketika orang dewasa mengucapkan kata-kata baru dalam konteks dan situasi yang dikenal oleh kanak-kanak, maka pengenalan ini akan menolong kanak-kanak itu untuk memperoleh makna kata-kata itu berdasarka bentuk, ukuran, bunyi, rasa, gerak, dan lain-lain dari kata-kata baru itu. Lalu, karena hanya beberapa fitur semantik yang digunakan oleh anak-anak untuk memperoleh makna kata pada tahap permulaan ini (antar satu sampai dua tahun setengah), maka penerapan berlebihan dari makna-makna ini tidak dapat dielakkan dan ini merupakan ciri khas pemerolehan makna oleh anak-anak. Dalam hal ini Clark memberikan contoh kata apel yang memiliki fitur semantik [+kecil] dan [+bundar]. Fitur semantik ini yang didasarkan pada ukuran dan bentuk, oleh anak-anak kemudian digunakan juga pada benda-benda yang kecil dan bundar seperti tombol  pintu,  bola karet,  dan  lain-lain.
            Selain memperoleh makna kata-kata yang terpisah sebagai butir leksikal, anak-anak juga memperoleh makna kata-kata yang berada dalam satu medan makna atau medan semantik, yakni kata-kata yang maknanya saling berkaitan (lihat Chaer, 1990, 1995). Umpamanya kata bawang, cube, garam, terasi, dan jahe adalah kata-kata yang berada dalam satu medan semafitik karena kelimanya menyatakan makna 'bumbu dapur'. Kata-kata seperti itu dipelajari oleh anak-anak berdasarkan beberapa kata yang mempunyai fitur-fitur persepsi dan kategori yang sama yang ada dalam butir-butir leksikal. Misalnya, anak-anak telah menguasai beberapa kata dari benda-benda yang bergerak. Jika gerak benda ini mempunyai fitur-fitur yang sama sebagai bagian dari butir leksikalnya, maka mereka akan tahu kata-kata ini sebagai kata-kata yang berada dalam medan semantik yang sama.
            Akhirnya Clark (1977) secara umum menyimpulkan perkembangan pemerolehan semantik ini ke dalam empat tahap yaitu sebagai berikut:
a)      Tahap Penyempitan Makna Kata
Tahap ini berlangsung antara umur satu sampai satu setengah tahun (1:0 - 1:6). Pada tahap ini anak-anak menganggap satu benda tertentu yang dicakup oleh satu makna menjadi nama dari benda itu Jadi, yang disebut meong hanyalah kucing yang dipelihara di rumah saja. Begitu juga guk-guk hanyalah anjing yang ada di rumahnya saja. Tidak termasuk yang berada di luar rumah si anak.
b)      Tahap Generalisasi Berlebihan
Tahap ini berlangsung antara usia satu tahun setengah sampai dua tahun setengah (1:6 - 2:6). Pada tahap ini anak-anak mulai menggeneralisasikan makna suatu kata secara berlebihan. Jadi, yang dimaksud dengan anjing atau gukguk dan kucing atau meong adalah semua binatang yang berkaki empat, termasuk kambing dan kerbau.
c)      Tahap Medan Semantik
Tahap ini berlangsung antara usia dua tahun setengah sampai usia lima tahun (2:6 - 5:0). Pada tahap ini anak-anak mulai mengelompokkan kata-kata yang berkaitan ke dalam satu medan semantik. Pada mulanya proses ini berlangsung jika makna kata-kata yang digeneralisasi secara berlebihan semakin sedikit setelah kata-kata baru untuk benda-benda yang termasuk dalam generalisasi ini dikuasai oleh anak-anak. Umpamanya, kalau pada mulanya kata anjing berlaku untuk semua binatang berkaki empat; namun, setelah mereka mengenai kata kuda, kambing, dan harimau, maka kata anjing hanya berlaku untuk anjing saja.
d)     Tahap Generalisasi
Tahap ini berlangsung setelah anak-anak berusia berusia antara lima tahun sampai tujuh tahun (5:0 - 7:0). Pada tahap ini anak-anak telah mulai mampu mengenai benda-benda yang sama dari sudut persepsi, bahwa benda-benda itu mempunyai fitur-fitur semantik yang sama. Misalnya, mereka telah mampu mengenal yang dimaksud dengan hewan yaitu semua makhluk yang termasuk hewan.

2)   Teori Hipotesis Hubungan-Hubungan Gramatikal
Teori hipotesis hubungan-hubungan gramatikal ini diperkenalkan oleh Mc. Neil (1970). Menurut Mc. Neil pada waktu dilahirkan anak-kanak telah dilengkapi dengan hubungan-hubungan gramatikal dalam nurani. Oleh karena itu, anak-anak pada awal proses pemerolehan bahasanya telah berusaha membentuk satu "kamus makna kalimat" (sentences-meaning dictionary), yaitu setiap butir leksikal dicantumkan dengan semua hubungan gramatikal yang digunakan secara lengkap pada tahap holofrasis. Pada tahap holofrasis ini anak-anak belum mampu menguasai fitur-fitur semantik karena terlalu membebani ingatan mereka. Jadi, pada awal pemerolehan semantik hubungan-hubungan gramatikal inilah yang paling penting karena telah tersedia secara nurani sejak lahir. Sedangkan fitur-fitur semantik hanya perlu pada tahap lanjutan pemerolehan semantik ini.
Penyesuaian kamus makna kata ini merupakan perkembangan kosakata kanak-kanak yang dilakukan secara horizontal atau secara vertikal. Secara horizontal artinya pada mulanya kanak-kanak hanya memasukkan beberapa fitur semantik untuk setiap butir leksikal ke dalam kamusnya. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya barulah terjadi penambahan fitur-fitur lainnya secara berangsur-angsur. Secara vertikal, artinya anak-anak secara serentak memasukkan semua fitur semantik sebuah kata ke dalam kamusnya; tetapi kata-kata itu terpisah satu sama lain. Dalam hal ini berarti fitur-fitur semantik anak-anak itu sama dengan fitur-fitur semantik orang dewasa.
3)   Teori Hipotesis Generalisasi
Teori hipotesis generalisasi ini diperkenalkan oleh Anglin (1975, 1977). Menurut Anglin perkembangan semantik kanak-kanak mengikuti satu proses generalisasi, yakni kemampuan kanak-kanak melihat hubungan-hubungan semantik antara nama-nama benda (kata-kata) mulai dari yang konkret sampai pada yang abstrak. Pada tahap permulaan pemerolehan semantik ini anak-anak hanya mampu menyadari hubungan-hubungan konkret yang khusus di antara benda-benda itu. Bila usianya bertambah mereka membuat generalisasi terhadap kategori-kategori abstrak yang lebih jelas. Umpamanya, pada awal perkembangan pemerolehan semantik anak-anak telah mengetahui kata-kata melati dan mawar melalui hubungan konkret antara kata itu dengan bunga-bunga tersebut. Pada tahap berikutnya setelah mereka semakin matang, mereka akan menggolongkan kata-kata ini dengan butir leksikal yang lebih tinggi kelasnya atau superordinatnya nelalui generalisasi yaitu bunga. Selanjutnya, setelah usia mereka semakin bertambah, maka mereka pun akan memasukkan bunga ke dalam kelompok-kelompok yang lebih tinggi, yaitu tumbuh-tumbuhan.
4)   Teori Hipotesis Primitif Universal
Teori ini mula-mula diperkenalkan oleh Postal (1966), lalu dikembangkan oleh Bierwisch (1970) dengan lebih terperinci. Menurut Postal semua bahasa yang ada di dunia ini dilandasi oleh satu perangkat primitif-primitif semantik universal (yang kira-kira sama dengan penanda-penanda semantik dan fitur-fitur semantik), dan rumus-rumus untuk menggabungkan primitif-primitif semantik ini dengan butir-butir leksikal.
Selanjutnya Bierwisch menyatakan bahwa primitif-primitif semantik atau komponen-komponen atau fitur-fitur semantik ini mewakili kategori-kategori atau prinsip-prinsip yang sudah ada sejak awal yang digunakan oleh manusia untuk menggolong-golongkan struktur benda-benda atau situasi-situasi yang diamati oleh manusia itu.
Dalam pemerolehan makna kanak-kanak tidak perlu mempelajari komponen-komponen makna itu karena komponen-komponen makna itu telah tersedia sejak dia lahir. Sesuatu yang perlu dipelajari adalah hubungan-hubungan komponen ini dengan "milik-milik" fonologi dan sintaksis, bahasanya. Ini berarti, bahwa manusia menafsirkan semua yang diamatinya berdasarkan primitif-primitif semantik yang telah tersedia sejak dia lahir. Dengan demikian, hipotesis primitif-primitif universal ini mau tidak mau harus menghubungkan perkembangan semantik kanak-kanak dengan perkembangan kognitif umum kanak-kanak itu.

BAB III
SIMPULAN 

            Berdasarkan uraian pada bab dua dapat disimpulkan bahwa pemerolehan kata secara sintaksis dan semantik sesungguhnya tidak dapat diidentifikasikan secara parsial, dalam arti kita tidak dapat membuat suatu pernyataan yang tegas yang menyatakan bahwa pemerolehan kata secara sintaksis terjadi telebih dahulu sebelum terjadi pemerolehan kata secara semantik, atau juga sebaliknya.  Pemerolehan kata secara sintaksis dan semantik terjadi secara bersamaan. Meskipun dalam suatu kajian pembahasan keduanya seringkali dipisah, tetapi hal tersebut dilakukan hanya untuk memudahkan dalam membahasnya.
            Adapun pada pemerolehan kata secara sintaksis di dalamnya terdapat beberapa tahapan yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut.
  1. Masa pra-lingual sampai usia 1 tahun
  2. Kalimat satu kata, 1-1,5 tahun
  3. Kalimat rangkaian kata, 1,5-2 tahun
  4. Konstruksi sederhana dan kompleks, 3 tahun.
Pemerolehan kata secara semantis dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Pada umumnya setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda dalam memahami suatu tuturan, hal tersebut tergantung pada perkembangan psikologis anak.
2.      Berdasarkan teori hipotesis fitur semantik, anak-anak akan memperoleh makna suatu kata dengan cara menguasai fitur-fitur semantik kata itu satu persatu sampai semua fitur semantik itu dikuasainya.
3.      Terdapat empat tahap pemerolehan kata secara semantik, yakni:
a.          Tahap penyempitan makna kata yang berlangsung antara umur satu sampai satu setengah tahun (1:0 - 1:6).
b.   Tahap generalisasi berlebihan yang berlangsung antara usia satu tahun setengah sampai dua tahun setengah (1:6 - 2:6).
c.    Tahap medan semantik yang berlangsung antara usia dua tahun setengah sampai usia lima tahun (2:6 - 5:0).
d.   Tahap generalisasi yang berlangsung setelah anak-anak berusia berusia antara lima tahun sampai tujuh tahun (5:0 - 7:0).
4.      Berdasarkan teori hipotesis hubungan-hubungan gramatikal dikatakan bahwa pada waktu dilahirkan anak-anak telah dilengkapi dengan hubungan-hubungan gramatikal dalam nurani.
5.      Berdasarkan teori hipotesis generalisasi dikatakan bahwa perkembangan semantik anak-anak mengikuti satu proses generalisasi, yakni kemampuan anak-anak melihat hubungan-hubungan semantik antara nama-nama benda (kata-kata) mulai dari yang konkret sampai pada yang abstrak.
6.      Berdasarkan teori Hipotesis Primitive Universal dikatakan bahwa dalam pemerolehan makna, anak-anak tidak perlu mempelajari komponen-komponen makna itu karena komponen-komponen makna itu telah tersedia sejak dia lahir.
            Hal lain yang dapat disimpulkan adalah bahwa proses pemerolehan kata secara sintaksis dan semantis juga sangat dipengaruhi oleh faktor lain seperti faktor kognisi dan lingkungan setiap anak yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tentu  sangat mempengaruhi proses pemerolehan bahasanya.

DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Teuku. 1997. Pemerolehan Bahasa Kedua (Second Language Acqusition).
Burn, A. Collaborative Action Research for English Language Teachers. Cambridge: Cambrige Univ. Press. Clark and Herbert H. Clark Eve.V. (1977) Psychology and Language An Ontroduction to Pscyholinguistics.
Baradja, M.F. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa. Malang: IKIP
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik:Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor.
Pateda, M. 1990. Aspek-Aspek Psikolinguistik. Flores: Nusa Indah
Subyakto-Nababan, Sri Utari. 1992. Psikolinguistik, Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Thomas, Murray. Second Language Acquisition and Teaching (2006), p. 1 (http://www. coh. arizona.edu/slat/default.html).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar