Oleh:
I Putu
Eka Suardana (1190161004)
I
Made Sukadana Antara (1190161015)
Oce
A. Langkameng (1190161062)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Pemerolehan
bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak anak
ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa
biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan
dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang anak mempelajari bahasa
kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa
berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan
bahasa kedua (Chaer, 2003:167). Meskipun dalam terminologi pemerolehan bahasa
juga terdapat istilah pemerolehan bahasa kedua, namun dalam tulisan ini konsep
pemerolehan bahasa mengacu pada konsep pemerolehan bahasa bahasa pertama atau bahasa ibu.
Secara
empiris, terdadapat tiga pandangan atau
teori mengenai pemerolehan bahasa, yaitu teori behavioristik, mentalistik, dan
kognitif. Teori behavioristik memiliki
dasar pandangan bahwa anak yang dilahirkan ke dunia diibaratkan seperti kertas
kosong yang tidak membawa kapasitas atau potensi bahasa, lingkunganlah yang
akan memberi warna dan membentuknya. Pengetahuan dan keterampilan berbahasa
diperoleh melalui pengalaman dan proses belajar. Teori behavioristik
menjelaskan perubahan tingkah laku dengan menggunakan model stimulus (S) dan
respon (R). Setiap ujaran dan bagian ujaran yang dihasilkan merupakan reaksi
atau respon terhadap stimulus.
Berbeda
dengan kaum behavioristik, kaum mentalistik tidak menganggap penting pengaruh
lingkungan dalam pemerolehan bahasa (Sudipa, 2007:8). Chomsky sebagai penganut
aliran ini berpandangan bahwa anak yang lahir ke dunia telah memiliki kapasitas
atau potensi bahasa. Kapasitas atau potensi bahasa tersebutlah yang akan turut
menentukan struktur bahasa yang akan mereka gunakan. Penganut aliran ini
memiliki dasar pandangan bahwa setiap anak yang lahir ke dunia telah dilengkapi
dengan piranti pemerolehan bahasa yang disebut dengan Language Acquisition Device (LAD). Menurut Brown, LAD terdiri atas:
- Kecakapan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lainnya.
- Kecakapan untuk mengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas yang akan berkembang kemudian.
- Pengetahuan tentang sistem bahasa yang mmungkin dan tidak mungkin.
- Kecakapan untuk menggunakan system bahasa yang didasarkan pada penilaian perkembangan sistem linguistik.
Pada
tahun 60-an kaum mentalistik yang lain mengusulkan suatu pendekatan baru yang
dinamakan pendekatan kognitif. Pendekatan kognitif yang selanjutnya melahirkan
teori kognitif ini memandang bahasa lebih mendalam lagi (Pateda, 1990:49).
Pendekatan ini memadukan dua teori sebelumnya yaitu, bayi dipandang lahir
dengan membawa kapasitas atau potensi bahasa, dan juga dipengaruhi oleh
lingkungannya. Teori kognitif menekankan pada hasil kerja mental. Titik awal
teori ini adalah anggapan terhadap kapasitas kognitif anak dalam menemukan
struktur di dalam bahasa yang ia dengar di sekelilingnya. Baik produksi maupun
komprehensi bahasa pada anak dipandang sebagai hasil proses kognitif yang secara
terus menerus berkembang dan berubah. Jadi, stimulus merupakan masukan bagi
anak yang kemudian berproses dalam otak. Dalam otak terjadi mekanisme internal
yang diatur oleh pengatur kognitif yang kemudian keluar sebagai hasil
pengolahan kognitif (Pateda, 1990:50).
Proses pemerolehan bahasa pada anak
tentu tidak terjadi dalam waktu yang singkat, melainkan melewati proses panjang,
yaitu seiring dengan bertambahnya usia anak tersebut. Selama berlangsungnya proses
pemerolehan bahasa, Chomsky memberikan dua proses yang terjadi yaitu proses kompetensi
dan proses performansi. Proses kompetensi adalah proses yang berhubungan dengan
penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses
kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses perfomansi yang
selanjutnya terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan penerbitan
kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mempersepsi
kalimat-kalimat yang didengar. Sedangkan penerbitan melibatkan kemampuan
mengeluarkan atau menerbitkan kalimat sendiri (Chaer 2003:167).
Kompetensi mencakup tiga buah
komponen tata bahasa, yaitu komponen sintaksis, komponen semantik, dan komponen
fonologi. Oleh karena itu, pemerolehan bahasa juga dibagi menjadi pemerolehan
semantik, pemerolehan sintaksis, dan pemerolehan fonologi (Chaer 2003:168). Namun
pada paper ini kita akan berfokus pada pemerolehan kata secara sintaksis dan
semantik saja. Bagaimanakah proses pemerolehan kata secara sintaksis dan
semantis merupakan masalah yang akan dideskripsikan pada bab dua paper ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Proses Pemerolehan Kata secara Sintaksis
Pemerolehan bahasa pada
anak bersifat alamiah atau didasarkan pada nature
atau dengan kata lain manusia telah diciptakan menjadi makhluk berbahasa,
karena mereka telah dilengkapi dengan segala sesuatu (otak, alat ucap, dst)
(Soemarsono, 2004: 72). Susunan sintaksis paling awal terlihat pada usia
kira-kira 18 bulan walaupun pada beberapa anak terlihat pada usia 1 tahun
bahkan lebih dari 2 tahun.
Peralihan dari satu kata menjadi
kalimat yang merupakan rangkaian kata terjadi secara bertahap. Pada waktu
kalimat pertama terbentuk yaitu penggabungan dua kata menjadi kalimat,
rangkaian kata tersebut berada pada jalinan intonasi. Jika kalimat dua kata
tersebut memberi makna lebih dari satu maka anak membedakannya dengan
menggunakan pola intonasi yang berbeda.
Perkembangan pemerolehan
sintaksis meningkat pesat pada waktu anak menjalani usia 2 tahun, yang mencapai
puncaknya pada akhir usia 3 tahun. Tahap perkembangan sintaksis secara singkat
terbagi dalam:
1.
Masa pra-lingual sampai
usia 1 tahun
2.
Kalimat satu kata, 1-1,5
tahun
3.
Kalimat rangkaian kata,
1,5-2 tahun
4.
Konstruksi sederhana dan
kompleks, 3 tahun.
Pada masa pra-lingual
sampai usia 1 tahun seorang anak belum mampu memproduksi suatu ujaran karena
alat ucapnya belum berkembang dengan baik. Walaupun alat ucapnya belum
berkembang dengan baik, namun seorang anak telah mampu memproduksi bunyi-bunyi
tangisan dan rengekan yang dikendalikan oleh rangsangan (stimulus), tahap ini juga sering disebut tahap pengocehan (bubbling), Dardjowidjojo (2005:243-244).
Ocehan atau celotehan merupakan ujaran yang memiliki suku kata
tunggal seperti mu dan da. Adapun umur si bayi mengoceh tak
dapat ditentukan dengan pasti. Mar’at (2005:43) menyebutkan bahwa tahap ocehan
ini terjadi pada usia antara 5 dan 6 bulan. Dardjowidjojo (2005: 244)
menyebutkan bahwa tahap celoteh terjadi sekitar umur 6 bulan. Tidak hanya itu.
ada juga sebagian ahli menyebutkan bahwa celoteh terjadi pada umur 8 sampai dengan
10 bulan. Perbedaan pendapat seperti ini dapat saja terjadi, tetapi hal yang
perlu diingat bahwa kemampuan anak berceloteh tergantung pada perkembangan
neurologi seorang anak.
Pada
saat anak memasuki usia 1-1,5 tahun maka anak dapat dikatakan telah memasuki
suatu tahap yang disebut tahap holofrasis atau tahap satu kata. Pada tahap ini Ujaran-ujaran yang mengandung
kata-kata tunggal diucapkan anak untuk mengacu pada benda-benda yang dijumpai
sehari-hari. Pada tahap ini pula seorang anak mulai menggunakan serangkaian
bunyi berulang-ulang untuk makna yang sama. Pada usia ini pula, sang anak sudah
mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan makna dan mulai mengucapkan
kata-kata yang pertama. Itulah sebabnya tahap ini disebut tahap satu kata
satu frase atau kalimat, yang berarti bahwa satu kata yang diucapkan anak
itu merupakan satu konsep yang lengkap, misalnya “mam” (Saya minta makan); “pa”
(Saya mau papa ada di sini), “Ma” (Saya mau mama ada di sini). Mula-mula,
kata-kata itu diucapkan anak itu kalau rangsangan ada di situ, tetapi sesudah
lebih dari satu tahun, “pa” berarti juga “Di mana papa?” dan “Ma” dapat juga
berarti “Gambar seorang wanita di majalah itu adalah mama”.
Tahap pemerolehan kata secara
sintaksis yang ketiga adalah tahap kalimat rangkaian kata pada usia anak 1,5-2
tahun. Ujaran-ujaran
yang terdiri atas dua kata mulai muncul seperti mama mam dan papa
ikut. Kalau pada tahap holofrastis ujaran yang diucapkan si anak belum
tentu dapat ditentukan maknanya, pada tahap dua kata ini, ujaran si anak harus
ditafsirkan sesuai dengan konteksnya. Pada tahap ini pula anak sudah mulai
berpikir secara “subjek + predikat” meskipun hubungan-hubungan seperti
infleksi, kata ganti orang dan jamak belum dapat digunakan. Dalam pikiran anak
itu, subjek + predikat dapat terdiri atas kata benda + kata benda, seperti “Ani
mainan” yang berarti “Ani sedang bermain dengan mainan” atau kata sifat + kata
benda, seperti “kotor patu” yang artinya “Sepatu ini kotor” dan sebagainya.
Memasuki
usia 3 tahun seorang anak telah memasuki suatu tahap yang disebut sebagai tahap
menghasilkan suatu konstruksi yang sederhana dan kompleks. Anak mulai menghasilkan ujaran
kata-ganda (multiple-word utterances) atau disebut juga ujaran
telegrafis. Anak juga sudah mampu membentuk kalimat dan mengurutkan
bentuk-bentuk itu dengan benar. Kosakata anak berkembang dengan pesat mencapai
beratus-ratus kata dan cara pengucapan kata-kata semakin mirip dengan bahasa
orang dewasa. Contoh dalam tahap ini diberikan oleh Fromkin dan Rodman.
“Cat stand up table” (Kucing berdiri di atas meja);
“What that?” (Apa itu?);
“He play little tune” (dia memainkan lagu pendek);
“Andrew want that” (Saya, yang bernama Andrew,
menginginkan itu);
“No sit here” (Jangan duduk di sini!)
Pada usia
dini dan seterusnya, seorang anak belajar B1-nya secara bertahap dengan caranya
sendiri. Ada teori yang mengatakan bahwa seorang anak dari usia dini belajar
bahasa dengan cara menirukan. Namun, Fromkin dan Rodman (1993:403) menyebutkan
hasil peniruan yang dilakukan oleh si anak tidak akan sama seperti yang
diinginkan oleh orang dewasa. Jika orang dewasa meminta sang anak untuk
menyebutkan “He’s going out”, si anak akan melafalkan dengan “He go
out”. Ada lagi teori yang mengatakan bahwa seorang anak belajar dengan cara
penguatan (reinforcement), artinya kalau seorang anak belajar
ujaran-ujaran yang benar, ia mendapat penguatan dalam bentuk pujian, misalnya bagus,
pandai, dsb. Akan tetapi, jika ujaran-ujarannya salah, ia mendapat
“penguatan negatif”, misalnya lagi, salah, tidak baik. Pandangan ini
berasumsi bahwa anak itu harus terus menerus diperbaiki bahasanya kalau salah
dan dipuji jika ujarannya itu benar.
2.2 Proses
Pemerolehan kata secara Semantis
Setiap anak memiliki kemampuan yang
berbeda dalam memahami suatu tuturan tergantung perkembangan psikologis anak. Setiap
anak mempunyai cara tersendiri dalam memahami makna kata. Pada awalnya dalam
kehidupan seorang bayi menghabiskan waktunya untuk mengamati dan mengumpulkan
sebanyak-banyaknya informasi yang ada di sekitar kehidupannya. Pengamatan ini
dilakukan melalui seluruh panca inderanya. Apa yang diamati dan dikumpulkan itu
menjadi “pengetahuan dunianya”. Berdasarkan pengetahuan dunianya inilah si bayi
memperoleh semantik bahasa dunianya dengan cara meletakkan “makna” yang tetap
kepada urutan bunyi bahasa tertentu (Chaer, 2003: 194).
Bidang semantik meliputi kemampuan anak dalam
memahami ujaran lawan bicaranya, seperti kemampuan memahami makna kata yang diucapkan
oleh lawan bicaranya. Dari mulai usia dua tahun seorang anak sudah mampu
memahami beberapa kosa kata yang di ucapkan lawan bicaranya. Salah satu
golongan kosakata yang dikuasai oleh anak adalah golongan kelas kata nomina
terutama yang akrab dengan tempat tinggalnya.
Apabila seorang anak menggunakan
ujaran-ujaran yang bentuk-bentuknya benar, ini belum berarti ia telah menguasai
bahasa pertamanya itu, karena dapat saja ia memberi arti yang lain pada
kalimat-kalimat yang diucapkanya itu. Namun sebaliknya ada juga kecendurungan,
walaupun seorang anak sudah memahami tentang arti suatu kata tetapi ia
mengucapkan kosa kata tersebut menjadi berbeda atau tidak sesuai dengan
kosakata yang sebenarnya.
Berkaitan dengan pemerolehan kata
secara semantis, terdapat beberapa teori mengenai proses pemerolehan semantik,
yakni: (a) teori hipotesis fitur semantik, (b) teori hipotesis
hubungan-hubungan gramatikal, (c) teori hipotesis generalisasi dan (d) teori
hipotesis primitif universal.
1) Teori
Hipotesis Fitur Semantik
Menurut beberapa ahli psikologi perkembangan,
anak-anak memperoleh makna suatu kata dengan cara menguasai fitur-fitur
semantik kata itu satu persatu sampai semua fitur semantik itu dikuasai,
seperti yang dikuasai oleh orang dewasa (Mc. Neil, 1970, Clark, 1977 dalam
Chaer, 2009 : 195). Clark memberi contoh, pada mulanya anak-anak yang berbahasa
Inggris menyebut semua binatang berkaki empat doggie atau kitty karena
pada mulanya anak-anak itu hanya menguasai beberapa fitur semantik saja, yakni
[+human], [+animal], dan [+four legs]. Lama-kelamaan fitur-fitur semantik lain
juga dikuasai sehingga pada umur tertentu anak-anak dapat membedakan doggi dan kitty. Asumsi-asumsi yang menjadi dasar
hipotesis fitur-fitur semantik adalah:
a) Fitur-fitur makna yang digunakan anak-anak dianggap sama dengan
beberapa fitur makna yang digunakan oleh orang dewasa.
b) Karena pengalaman anak-anak mengenai dunia ini dan mengenai bahasa
masih sangat terbatas bila dibandingkan dengan pengalaman orang dewasa, maka
kanak-kanak hanya akan menggunakan dua atau tiga fitur makna saja untuk sebuah kata
sebagai masukan leksikon.
c) Karena pemilihan fitur-fitur yang berkaitan ini didasarkan pada
pengalaman anak-anak sebelumnya, maka fitur-fitur ini pada umumnya didasarkan
pada informasi persepsi atau pengamatan.
Jadi, ketika orang dewasa mengucapkan kata-kata baru dalam konteks
dan situasi yang dikenal oleh kanak-kanak, maka pengenalan ini akan menolong
kanak-kanak itu untuk memperoleh makna kata-kata itu berdasarka bentuk, ukuran,
bunyi, rasa, gerak, dan lain-lain dari kata-kata baru itu. Lalu, karena hanya
beberapa fitur semantik yang digunakan oleh anak-anak untuk memperoleh makna
kata pada tahap permulaan ini (antar satu sampai dua tahun setengah), maka
penerapan berlebihan dari makna-makna ini tidak dapat dielakkan dan ini
merupakan ciri khas pemerolehan makna oleh anak-anak. Dalam hal ini Clark
memberikan contoh kata apel yang memiliki fitur semantik [+kecil] dan
[+bundar]. Fitur semantik ini yang didasarkan pada ukuran dan bentuk, oleh
anak-anak kemudian digunakan juga pada benda-benda yang kecil dan bundar
seperti tombol pintu, bola karet,
dan lain-lain.
Selain memperoleh makna kata-kata
yang terpisah sebagai butir leksikal, anak-anak juga memperoleh makna kata-kata
yang berada dalam satu medan makna atau medan semantik, yakni kata-kata yang
maknanya saling berkaitan (lihat Chaer, 1990, 1995). Umpamanya kata bawang,
cube, garam, terasi, dan jahe adalah kata-kata yang berada dalam
satu medan semafitik karena kelimanya menyatakan makna 'bumbu dapur'. Kata-kata
seperti itu dipelajari oleh anak-anak berdasarkan beberapa kata yang mempunyai
fitur-fitur persepsi dan kategori yang sama yang ada dalam butir-butir
leksikal. Misalnya, anak-anak telah menguasai beberapa kata dari benda-benda
yang bergerak. Jika gerak benda ini mempunyai fitur-fitur yang sama sebagai
bagian dari butir leksikalnya, maka mereka akan tahu kata-kata ini sebagai
kata-kata yang berada dalam medan semantik yang sama.
Akhirnya Clark (1977) secara
umum menyimpulkan perkembangan pemerolehan semantik ini ke dalam empat tahap
yaitu sebagai berikut:
a) Tahap Penyempitan Makna Kata
Tahap ini berlangsung antara umur satu sampai satu setengah tahun
(1:0 - 1:6). Pada tahap ini anak-anak menganggap satu benda tertentu yang
dicakup oleh satu makna menjadi nama dari benda itu Jadi, yang disebut meong hanyalah kucing yang dipelihara di
rumah saja. Begitu juga guk-guk
hanyalah anjing yang ada di rumahnya saja. Tidak termasuk yang berada di luar
rumah si anak.
b) Tahap Generalisasi Berlebihan
Tahap ini berlangsung antara usia satu tahun setengah sampai dua
tahun setengah (1:6 - 2:6). Pada tahap ini anak-anak mulai menggeneralisasikan
makna suatu kata secara berlebihan. Jadi, yang dimaksud dengan anjing atau
gukguk dan kucing atau meong adalah semua binatang yang
berkaki empat, termasuk kambing dan kerbau.
c) Tahap Medan Semantik
Tahap ini berlangsung antara usia dua tahun setengah sampai usia
lima tahun (2:6 - 5:0). Pada tahap ini anak-anak mulai mengelompokkan kata-kata
yang berkaitan ke dalam satu medan semantik. Pada mulanya proses ini
berlangsung jika makna kata-kata yang digeneralisasi secara berlebihan semakin
sedikit setelah kata-kata baru untuk benda-benda yang termasuk dalam generalisasi
ini dikuasai oleh anak-anak. Umpamanya, kalau pada mulanya kata anjing berlaku
untuk semua binatang berkaki empat; namun, setelah mereka mengenai kata kuda,
kambing, dan harimau, maka kata anjing hanya berlaku untuk
anjing saja.
d) Tahap Generalisasi
Tahap ini berlangsung setelah anak-anak berusia berusia antara
lima tahun sampai tujuh tahun (5:0 - 7:0). Pada tahap ini anak-anak telah mulai
mampu mengenai benda-benda yang sama dari sudut persepsi, bahwa benda-benda itu
mempunyai fitur-fitur semantik yang sama. Misalnya, mereka telah mampu mengenal
yang dimaksud dengan hewan yaitu semua makhluk yang termasuk hewan.
2) Teori
Hipotesis Hubungan-Hubungan Gramatikal
Teori hipotesis
hubungan-hubungan gramatikal ini diperkenalkan oleh Mc. Neil (1970). Menurut
Mc. Neil pada waktu dilahirkan anak-kanak telah dilengkapi dengan hubungan-hubungan
gramatikal dalam nurani. Oleh
karena itu, anak-anak pada awal proses pemerolehan bahasanya telah
berusaha membentuk satu "kamus makna kalimat" (sentences-meaning
dictionary), yaitu setiap butir leksikal dicantumkan dengan semua hubungan
gramatikal yang digunakan secara lengkap pada tahap holofrasis. Pada tahap
holofrasis ini anak-anak belum mampu menguasai fitur-fitur semantik karena
terlalu membebani ingatan mereka. Jadi, pada awal pemerolehan semantik
hubungan-hubungan gramatikal inilah yang paling penting karena telah tersedia
secara nurani sejak lahir. Sedangkan fitur-fitur semantik hanya perlu pada
tahap lanjutan pemerolehan semantik ini.
Penyesuaian kamus makna kata ini merupakan perkembangan kosakata
kanak-kanak yang dilakukan secara horizontal atau secara vertikal.
Secara horizontal artinya pada mulanya kanak-kanak
hanya memasukkan beberapa fitur semantik untuk setiap butir leksikal ke dalam
kamusnya. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya barulah terjadi penambahan
fitur-fitur lainnya secara berangsur-angsur. Secara vertikal, artinya anak-anak
secara serentak memasukkan semua fitur semantik sebuah kata ke dalam kamusnya;
tetapi kata-kata itu terpisah satu sama lain. Dalam hal ini berarti fitur-fitur
semantik anak-anak itu sama dengan fitur-fitur semantik orang dewasa.
3) Teori
Hipotesis Generalisasi
Teori hipotesis
generalisasi ini diperkenalkan oleh Anglin (1975, 1977). Menurut Anglin
perkembangan semantik kanak-kanak mengikuti satu proses generalisasi, yakni
kemampuan kanak-kanak melihat hubungan-hubungan semantik antara nama-nama benda
(kata-kata) mulai dari yang konkret sampai pada yang abstrak. Pada tahap permulaan
pemerolehan semantik ini anak-anak hanya mampu menyadari hubungan-hubungan
konkret yang khusus di antara benda-benda itu. Bila usianya bertambah mereka
membuat generalisasi terhadap kategori-kategori abstrak yang lebih jelas.
Umpamanya, pada awal perkembangan pemerolehan semantik anak-anak telah
mengetahui kata-kata melati dan mawar melalui hubungan konkret
antara kata itu dengan bunga-bunga tersebut. Pada tahap berikutnya setelah
mereka semakin matang, mereka akan menggolongkan kata-kata ini
dengan butir leksikal yang lebih tinggi kelasnya atau superordinatnya nelalui
generalisasi yaitu bunga. Selanjutnya, setelah usia mereka
semakin bertambah, maka mereka pun akan memasukkan bunga ke dalam
kelompok-kelompok yang lebih tinggi, yaitu tumbuh-tumbuhan.
4) Teori
Hipotesis Primitif Universal
Teori ini mula-mula
diperkenalkan oleh Postal (1966), lalu dikembangkan oleh Bierwisch (1970)
dengan lebih terperinci. Menurut Postal semua bahasa yang ada di dunia ini
dilandasi oleh satu perangkat primitif-primitif semantik universal (yang
kira-kira sama dengan penanda-penanda semantik dan fitur-fitur semantik), dan
rumus-rumus untuk menggabungkan primitif-primitif semantik ini dengan
butir-butir leksikal.
Selanjutnya Bierwisch
menyatakan bahwa primitif-primitif semantik atau komponen-komponen atau
fitur-fitur semantik ini mewakili kategori-kategori atau prinsip-prinsip yang
sudah ada sejak awal yang digunakan oleh manusia untuk menggolong-golongkan
struktur benda-benda atau situasi-situasi yang diamati oleh manusia itu.
Dalam pemerolehan makna kanak-kanak
tidak perlu mempelajari komponen-komponen makna itu karena komponen-komponen
makna itu telah tersedia sejak dia lahir. Sesuatu yang perlu dipelajari adalah
hubungan-hubungan komponen ini dengan "milik-milik" fonologi dan
sintaksis, bahasanya. Ini berarti, bahwa manusia menafsirkan semua yang
diamatinya berdasarkan primitif-primitif semantik yang telah tersedia sejak dia
lahir. Dengan demikian, hipotesis primitif-primitif universal ini mau tidak mau
harus menghubungkan perkembangan semantik kanak-kanak dengan perkembangan
kognitif umum kanak-kanak itu.
BAB III
SIMPULAN
Berdasarkan
uraian pada bab dua dapat disimpulkan bahwa pemerolehan kata secara sintaksis
dan semantik sesungguhnya tidak dapat diidentifikasikan secara parsial, dalam
arti kita tidak dapat membuat suatu pernyataan yang tegas yang menyatakan bahwa
pemerolehan kata secara sintaksis terjadi telebih dahulu sebelum terjadi
pemerolehan kata secara semantik, atau juga sebaliknya. Pemerolehan kata secara sintaksis dan
semantik terjadi secara bersamaan. Meskipun dalam suatu kajian pembahasan
keduanya seringkali dipisah, tetapi hal tersebut dilakukan hanya untuk
memudahkan dalam membahasnya.
Adapun
pada pemerolehan kata secara sintaksis di dalamnya terdapat beberapa tahapan
yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut.
- Masa pra-lingual sampai usia 1 tahun
- Kalimat satu kata, 1-1,5 tahun
- Kalimat rangkaian kata, 1,5-2 tahun
- Konstruksi sederhana dan kompleks, 3 tahun.
Pemerolehan
kata secara semantis dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Pada umumnya setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda dalam
memahami suatu tuturan, hal tersebut tergantung pada perkembangan psikologis
anak.
2.
Berdasarkan
teori hipotesis fitur semantik, anak-anak akan memperoleh makna suatu kata
dengan cara menguasai fitur-fitur semantik kata itu satu persatu sampai semua fitur
semantik itu dikuasainya.
3.
Terdapat empat tahap pemerolehan kata secara semantik, yakni:
a.
Tahap penyempitan makna kata yang berlangsung antara umur satu sampai satu setengah tahun (1:0 -
1:6).
b.
Tahap generalisasi
berlebihan
yang berlangsung antara usia satu tahun setengah sampai dua tahun
setengah (1:6 - 2:6).
c.
Tahap medan semantik yang berlangsung antara usia dua tahun
setengah sampai usia lima tahun (2:6 - 5:0).
d.
Tahap generalisasi
yang berlangsung setelah anak-anak berusia berusia
antara lima tahun sampai tujuh tahun (5:0 - 7:0).
4.
Berdasarkan
teori hipotesis hubungan-hubungan gramatikal dikatakan bahwa pada waktu dilahirkan anak-anak telah dilengkapi dengan hubungan-hubungan gramatikal dalam nurani.
5.
Berdasarkan teori hipotesis generalisasi dikatakan bahwa perkembangan
semantik anak-anak mengikuti satu proses generalisasi, yakni kemampuan
anak-anak melihat hubungan-hubungan semantik antara nama-nama benda (kata-kata)
mulai dari yang konkret sampai pada yang abstrak.
6.
Berdasarkan teori Hipotesis Primitive
Universal dikatakan bahwa dalam pemerolehan makna, anak-anak tidak
perlu mempelajari komponen-komponen makna itu karena komponen-komponen makna
itu telah tersedia sejak dia lahir.
Hal lain
yang dapat disimpulkan adalah bahwa proses pemerolehan kata secara sintaksis
dan semantis juga sangat dipengaruhi oleh faktor lain seperti faktor kognisi
dan lingkungan setiap anak yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tentu sangat mempengaruhi proses pemerolehan
bahasanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Alamsyah, Teuku. 1997. Pemerolehan
Bahasa Kedua (Second Language Acqusition).
Burn, A. Collaborative Action
Research for English Language Teachers. Cambridge: Cambrige Univ. Press.
Clark and Herbert H. Clark Eve.V. (1977) Psychology and Language An
Ontroduction to Pscyholinguistics.
Baradja, M.F. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa.
Malang: IKIP
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik:Kajian
Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono.
Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor.
Pateda, M. 1990. Aspek-Aspek
Psikolinguistik. Flores: Nusa Indah
Subyakto-Nababan, Sri
Utari. 1992. Psikolinguistik, Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Thomas, Murray. Second
Language Acquisition and Teaching (2006), p. 1 (http://www. coh.
arizona.edu/slat/default.html).